Zila adalah gadis yang sempurna. Akhlaknya baik. Keimanannya mantap. Kecantikannya melebihi kecantikan bintang purnama, begitulah bahasa penyair. Sehingga menimbulkan banyak pemuda yang ingin memilikinya. Baik pemuda di Kampung Geretak Panjang Dalam maupun yang berada di sekitarnya atau kampung lain. Konon kabarnya kecantikan Zila disebarkan pedagang-pedagang yang pernah singgah di daerah Zila.
Orang-orang berlomba-lomba ingin memiliki Zila. Orang yang berminat ingin memiliki Zila itu tidak hanya dari kalangan pemuda tetapi para duda juga ambil bagian. Semaraklah persaingan orang-orang untuk mendapatkan Zila.
Zila memiliki abang yang selalu melindunginya dari tindakan tidak baik orang lain. Mengawalnya setiap kala. Abangnya terkenal memiliki ilmu tinggi.
Menurut kabar yang didapat. Roka, abangnya Zila berguru ilmu dengan Eyang Sepuh Jagat di Gunung Mandi Punai. Sebab Eyang itu terkenal ketinggian ilmu silatnya dan jarang sekali memunculkan diri di muka khalayak umum. Orangnya sulit sekali ditemui walau sudah banyak orang menyambangi kediamannya. Hanya Roka yang beruntung, dapat menjadi murid Eyang Sepuh Jagat. Dari Eyang itu, Roka diberi semacam kalung berbentuk Liontin Segitiga Emas. Kalung itu merupakan senjata kesaktian, yang bisa digunakan kalau Roka tidak mampu lagi melawan lawannya dengan jurus silat yang telah diberikan oleh gurunya.
Banyak orang yang sudah menjajal kehebatan ilmu silatnya Roka. Namun orang-orang tak bisa mengalahkan Roka. Sehingga banyak orang yang mengidamkan Zila hanya menahan keinginan di dada. Zila nampaknya belum juga tertarik dengan orang yang mengejarnya.
Musafirun yang saat itu melakukan perjalanan dengan temannya, menghentikan langkahnya. Sebab desingan angin mengabarkan padanya bahwa di Kampung Geretak Panjang Dalam sedang terjadi adu kekuatan untuk memperebutkan Zila.
“Ada apa, Safir?” tanya Vitri.
“Tidak ada apa-apa, Vit. Tapi maaf ya kita harus berpisah di sini. Kita melakukan perjalanan masing-masing saja,” sahut Musafirun.
“Mengapa bisa begitu, Safir?” kata Dewa Timur angkat bicara.
“Sebab ada hal penting yang harus kuselesaikan sendiri. Maaf ya, ditinggal dulu,” kata Musafirun bergegas pergi.
“Tunggu dulu, Safir! Kami ikut!” teriak Vitri dan Dewa Timur bergegas menyusul. Namun dia kehilangan jejak Musafirun.
“Bagaimana Vit, kita kehilangan jejaknya?” kata Dewa Timur.
“Bagaimana ya? Sudahlah begini saja. Kita ikuti saja jalan ini. Mudah-mudahan kita menemukan Safir lagi,” jawab Vitri. Mereka terus melangkah mengikuti jalan itu.
Musafirun sedang melintasi sebuah pemukiman. Pemukiman yang berbentuk deretan gang memanjang. Musafirun rupanya sudah sampai di Kampung Geretak Panjang Dalam. Saat itu Musafirun membawa buntalan kain yang berisi perlengkapannya selama melakukan perjalanan. Lagi asyik-asyiknya dia berjalan. Musafirun dikejutkan oleh seseorang. Seseoran yang dengan cepatnya ingin merampas buntalan perbekalannya. Dengan sigap Musafirun mengelak hingga orang yang ingin merampas buntalan perbekalannya hanya menangkap angin kosong. Tidak mendapatkan apa-apa orang itu marah.
Orang itu mengeluarkan jurus silatnya. Tendangannya menggeledek. Angin tendangannya berkesiuran. Mengincar bagian perut Musafirun. Musafirun tidak tinggal diam. Sedikit digesernya kaki kirinya. Kaki kanannya melakukan tendangan serupa. Sehingga dua kaki saling bertemu. Saling mengadu kekuatan. Musafirun lakukan itu untuk menjajal seberapa besar tenaga dalam lawannya. Tenaga dalam lawannya masih jauh di bawahnya. Kelihatan lawannya mengerenyit. Menahan beban berat tendangan Musafirun. Lawan Musafirun bersalto ke belakang. Setelah menjejak tanah dengan kecepatan kilat dia melakukan dua jotosan tangan menuju ke arah mata Musafirun. Musafirun tersenyum. Dengan cepat kedua belah tangannya membentang membendung serangan lawannya. Lawannya terpental ke belakang termakan hawa dorongan tangan.
Lawannya sungguh indah melaksanakan salto belakang agar dia dapat berpijak dengan kaki yang tegap. Walau saat dia mendarat itu terlihat kakinya sedikit goyah, tetapi dia masih bisa mendarat dengan sempurna. Berdiri tegap.
Lawannya mulai lagi melancarkan serangannya. Kali ini lebih ganas dari yang sudah dilancarkannya. Sasaran serangannya bukan tubuh tapi buntalan perbekalan. Musafirun tidak sudi membiarkan perbekalannya diambil orang lain. Dia menghindari serangan lawannya. Tidak dinyananya cakaran tangan lawannya telah merobek buntalan perbekalannya. Sebuah peniti perak keluar dari buntalan itu.
Orang ini tidak bisa dibiarkan saja. Aku harus memberikan pelajaran padanya, gumamnya dalam hati.
Tidak tunggu lama. Dia mulai melakukan gebrakan dengan jurus sepuluh dan sebelas. Lawannya menjadi keteter dan beberapa kali terjungkal termakan gaplokan tangannya. Sungguh luar biasa. Semangat lawannya patut diacungi jempol. Walau dia pontang-panting dihantam Musafirun. Dia terus saja melawan Musafirun. Akhirnya Mudsafirun merubah jurusnya. Musafirun menggunakan jurus kedua belas yang terkenal lembut gerakannya tapi mematikan lawan.
Melihat jurus kedua belasnya ini lawannya menjadi terkesiap. Belum sempat hilang keterkesiapan lawannya. Sebuah tendangan Musafirun menghantam hulu hati lawannnya begitu telak.
Dukkkk………..
Lawannya terjungkal ke belakang. Diam tak berkutik. Bukan mati hanya pingsan saja. Musafirun dapat bernapas lega. Kemudian Musafirun mulai memasukan peniti perak ke dalam buntalan kainnya. Perjalanan itu dilanjutkannya ke arah tempat yang di bisikan angin.
Dia datang terlambat. Pertarungan sudah selesai. Seorang pemuda berpakaian rumbai kuning sedang digotong para pengawalnya. Darah berceceran di mulutnya. Sekilas dia melihat pemuda yang digotong.
Alhamdulillah, pemuda itu hanya pingsan saja.
Dia sempat melihat Zila sesaat. Memang sungguh cantik. Darahnya sempat berdesir. Tidak heran semua orang ingin memilikinya.
Jangan-jangan aku juga tertarik padanya. Jangan. Aku tidak boleh tertarik padanya. Aku tidak boleh larut dalam perasaan membuai ini. Aku harus ingat perjalananku masih panjang. Ini hanya sebuah godaan saja. Bertasbihlah. Banyaklah ingat Allah kalau kamu melihat sebuah keindahan. Sebuah sinyal batinku membisikanku.
Aku mulai melafazkan zikir dalam hati. Alhamdulillah. Hatiku menjadi tenang kembali. Daripada aku membuat masalah lebih baik aku tinggalkan tempat ini. Aku ingin beranjak pergi.
Muncullah seorang duda berbaju biru dengan dandanan bajunya yang rapi sekali. Rambutnya berminyak penuh klimis. Garis ketuaan belum melajur di keningnya. Kutaksir umurnya kira-kira baru tiga puluh delapan tahun. Langkahnya pelan tapi mengandung hawa kekuatan yang menggetarkan. Itu terlihat saat dia menginjakkan kakinya. Tanah terlihat bergetar. Dia terus menuju arena pertarungan. Dia ingin menjajal kemampuan abang Zila. Mengadu peruntungan untuk mendapatkan Zila.
Aku jadi batal meninggalkan tempat ini. Rugi sekali melepaskan hiburan indah ini.
Di tempat yang agak tertutup aku ingin menyaksikan pertarungan itu.
Saat menuju ke tempat yang tersembunyi itu. Sepintas dengan ketajaman matanya Zila menangkap bayanganku. Zila tersenyum. Langsung saja mukanya bersemu merah. Gejolak hatinya kuat berdebur. Dalam hatinya mulai tumbuh kasih sayang padaku. Walau hanya sesaat memandangku. Karena dia memiliki ilmu batin yang lumayan tinggi. Bisa mendeteksi kemauan hatinya.
Alhamdulillah. Pangeran yang kutunggu rupanya sudah datang. Pasti tanda mahar yang berupa peniti perak ada padanya. Lebih baik aku menunggu di sini dengan kesabaran. Sabar saat dia menyerahkan peniti perak itu. Guru, apa yang kamu wangsitkan kepadaku menjadi kenyataan.
Aku terus menyaksikan pertarungan itu. Gempuran duda berbaju biru terus menghebat Selalu kandas. Selalu dapat dipatahkan oleh Roka. Akibatnya duda berbaju biru dijadikan bulan-bulanan pukulan si Roka. Muka dan badannya sudah terlihat babak belur.
Seketika dengingan mengiang di telingaku. Aku mulai duduk bersila. Ada sukma alam bawah sadar memanggilku. Aku berkonsentrasi. Aku memusatkan semua indera batinku untuk melakukan komunikasi dengan tamu alam bawah sadar yang datang itu. Kusalurkan hawa murni menangkap sinyal itu. Kontak terjadi. Tamu itu adala guruku sendiri.
“Assalamualaikum Muridku Musafirun?”
“Waalaikumsalam Guru. Ada gerangan apa guru menghubungiku?”
“Aku hanya memberikan suatu hal padamu. Kamu harus memberikan peniti perak itu pada Zila. Peniti perak adalah barang berharganya. Barang itu hilang dua dekade yang lalu.”
”Waw, lama sekali.”
“Jadi Zila adalah nenek-nenek yang menyamar menjadi seorang gadis, guru?”
“Tidak muridku. Dia adalah gadis perawan. Sebenarnya barang itu adalah titipan dari nenek moyangnya.”
”Titipan dari nenek moyangnya. Begitu ya guru?”
“Begitulah muridku. Sekarang saya pergi dulu. Assalamualaikum murdiku,” ujar guruku menghilang dari kontak batin ini.
“Waalaikumsalam wr.wb. Guru,” sahutku.
Aku lalu membuka mataku. Bersamaan terbukanya kelopak mataku. Bersamaan pula dengan terlemparnya duda berbaju biru ke arahku. Duda berbaju biru itu telah babak belur dihajar Roka. Duda berbaju biru kepayahan bangkit berdiri. Aku menolongnya.
“Terima kasih Bung?” katanya bangkit berdiri. Kemudian duda berbaju biru itu berlalu pergi.
“Alhamdulillah juga Saudara!” sahutku dengan tersenyum. Melihat kepergiannya yang masih menahan kesakitan.
~oOo~
Saat aku menolong duda berbaju biru itu, Roka menghampiriku. Aku beradu pandang dengannya. Zila tetap saja duduk manis di kursinya. Semua pendatang yang menjajal kesaktian Roka sebagai syarat untuk mendapatkan Zila, adiknya Roka sudah bubaran. Hanya kesunyian yang melanda. Roka mulai menebak kemauanku.
“Bung, kalau tidak ada urusan cepat pergi dari sini!” katanya mengusirku.
“Aku memang berniat pergi. Tapi jadi batal. Karena aku harus menemui Zila. Ada barang berharga yang harus kuberikan padanya,” sahutku.
“Berikan saja barang berharga itu padaku,” kata Roka sedikit memaksa.
“Tidak bisa Bung. Barang itu harus kuberikan langsung pada Zila,” kuatku menegaskan.
“Jadi bung ingin melawanku?” perkeras Roka.
“Tidak Bung, aku tidak berani!” bantahku.
“Kalau begitu cepat berikan barang itu.”
“Tidak bisa, Bung. “
“Kalau tidak bisa meminta dengan kelembutan terpaksa aku memintanya dengan kekerasan,” kata Roka.
“Jangan, Bung.”
“Jangan banyak bacot kamu. Jangan banyak berdalih. Aku tetap merebut barang itu. Sekalian aku ingin menjajal kehebatanmu. Kamu yang telah berani menentang kemauanku. Apakah memang kamu punya kekuatan?” gerung Roka.
Selesai ucapannya. Roka melakukan serangan yang begitu cepat sekali hingga aku tidak bisa mengelak. Serangan tangan Roka menghantam dadaku. Membuat aku terjatuh. Sebab tidak mengira mendapat serangan sedemikan cepat darinya.
Dengan tegap aku berdiri. Aku hanya tersenyum. Sebelum aku sempat berpikir jauh. Serangan tangan Roka datang menyusul secepat angin tondano berhembus. Terpaksa aku membela diri. Aku menghindari serangannya dengan manis. Roka menjadi tertantang emosinya. Tak segan-segan dia mengeluarkan jurus-jurus hebatnya. Aku meladeninya. Selain menghindar, aku juga membalas serangannya.
Pertarungan itu berlangsung dengan serunya. Tidak bisa dicegah lagi. Di kursinya. Zila tersenyum manis. Senyuman yang dapat mengalahkan kemanisan nektar bunga.
Bang, aku bisa menerka lewat sinyal batinku. Abang tidak akan mampu melawannya. Karena dia memiliki ilmu yang lebih tinggi dari abang. Ilmu kebatinannya mantap. Ilmu silatnya juga mantap. Kalau tidak salah dari wangsit guru yang kuterima. Pemuda ini adalah murid dari Kiai Wahyu Sejati yang kesohor itu. Nama gurunya saja telah menggetarkan delapan penjuru angin dunia persilatan saat ini. Pasti gurunya juga memiliki yang sama saktinya dengan gurunya. Bisa jadi lebih. Bang, aku berdoa pada Tuhan semoga abang tidak cidera parah, keluh Zila dalam hatinya.
Masing-masing kami mengeluarkan jurus yang dimiliki. Dari jurus yang paling rendah sampai jurus paling tinggi. Kadangkala ilmu hawa tangan sering beradu antara kami. Memasuki jurus kesebelas dalam pertaruangan seru ini, aku memakai jurus keempat belas. Setelah memakai jurus keempat belas Roka dapat kubuat bertekuk lutut. Roka dapat kulumpuhkan. Kalung liontin segitiga emasnya dapat kulepaskan dari lehernya hingga kekuatan ilmunya berkurang. Dia terkejut sangat. Roka merasa kalah saing. Karen aku telah dapat menanggalkan kalung liontin segitiga emasnya yang merupakan senjata andalannya.
Akhirnya dia berpikir. Baru kali ini dia menemukan seseorang yang mampu melepaskan kalung liontin segitiga emas dari lehernya. Berarti orang yang dihadapinya adalah orang yang memiliki lebih tinggi darinya. Lebih baik aku tidak meneruskan pertarungan ini lagi. Sebab aku tak mungkin mengalahkannya. Kalau kupaksakan terus bisa-bisa aku cidera berat.
Pemuda ini cocok sekali menjadi pasangan adikku.
Aku mengembalikan liontin segitiga emasnya yang terlepas di tanah dalam pertarungan itu dengan sebuah rapalan. Ajaib sekali seketika di tanganku telah tergenggam liontin segitiga emasnya.
Sinar matahari memancarkan cahayanya yang keputihan. Menyinari sekujur tubuh Roka dan diriku. Hingga tubuh kami keputihan semua. Aku mulai menggosok tanganku yang menimbulkan pijaran keputihan sambil aku merapal doa untuk mengembalikan barang itu kepadanya. Aku sebenanya hanya memanfaatkan energi cahaya keputihan matahari untuk menambah kekuatan ilmu pengembalian barang padanya.
“Maafkan aku Bung, bukan aku pamer ilmu. Barang Bung sudah berada di tangan Bung. Bukalah tangannya,” kataku lalu menuju ke arah Zila.
Roka membuka tangannya. Benar saja liontin segitiga emasnya sudah berada di tangannya. Dia mulai mengalungkan lagi kalung liontin segitiga emasnya pada lehernya. Selanjutnya Roka menyusulku.
“Assalamualaikum Zila,” kataku.
“Waalaikumsalam Bung. Silakan duduk,” jawabnya ramah dan lembut.
Berhadapan dekat begini, aku sungguh memuji kecantikannya dalam hati. Sungguh beruntung orang yang mendapatkannya.
“Bung, memuji kecantikanku? Tidak lama lagi kecantikanku akan jadi milik Bung selama-lamanya,” katanya.
Aku kaget Zila bisa menerka pembicaraan hatiku.
Wah, aku harus hati-hati berhadapan dengannya. Sungguh luar biasa hebat ilmu kebatinannya. Aku harus berhati berkata-kata dalam hatiku. Nanti bisa diketahuinya. Malu aku. Aku salut sekali padanya. Walau tidak memiliki ilmu silat, tetapi dia memiliki ilmu batin yang tinggi. Sedikit ilmu silat dadakandia punya.
”Bung, tak perlu memujiku? Ilmu batin Bung lebih hebat dari ilmu batin yang kumiliki.”
Ah, aku kaget lagi. Benarkan. Aku tak boleh berkata-kata lagi dalam hati. Aku harus langsung saja ke duduk persoalan yang diamanatkan guru kepadaku.
“Zila, kenalkan namaku adalah Musafirun!” kataku mengenalkan nama.
“Nama yang bagus sekali. Sekarang keperluanmu apa?”
“Keperluanku hanya menyampaikan barang berharga ini padamu. Ini barangnya ambillah,” kataku memberikan peniti perak yang telah kuambil dari buntalan kain perbekalanku.
“Alhamdulillah. Terima kasih Musafirun,” sahutnya menerima peniti perak dengan hati bahagia dan riang. Peniti perak dimasukannya dalam saku kerudungnya.
“Zila, karena tidak ada keperluan lain. Aku mohon pamit diri,” ucapku berdiri ingin meninggalkan tempat tinggalnya.
“Tunggu dulu Musafirun. Ada hal penting yang ingin kukatakan padamu. Aku sudah berjanji siapa saja membawakan peniti perak ini padaku dia akan jadi suamiku. Apa yang kujanjikan ini sesuai dengan wangsit guruku. Peniti perak yang dibawakan orang itu sebagai tanda mahar pernikahan. Karena kamu yang membawakannya, jadi kamulah yang akan menjadi suamiku. Terima kasih Tuhan, Engkau telah menemukan orang yang tepat untukku. Mudah-mudahan kamu mengerti,” jelasnya menatapku minta keputusan.
“Bagaimana ya?” celetukku.
“Bagaimana lagi.Terima saja Musafirun,” sela Roka menepuk bahuku.
”Aku senang punya adik ipar sepertimu. Adik ipar yang mempunyai ilmu tinggi. Aku yakin kamu mampu menjaga adikku.”
Aku berpikir sebentar mempertimbangkannya. Zila menunggu dengan pengharapan penuh.
“Boleh aku tanya suatu hal?”
“Boleh saja. Sebenarnya apa yang ingin kamu tanyakan itu?”
Zila menyahut dengan kepolosannya.
“Siapa nama gurumu yang memberikan wangsit itu?”
“Begawan Langit Ketujuh.”
“Oh……,” mulutku sedikit muncung.
Begawan Langit Ketujuh adalah salah satu orang hebat yang berdiam diri di Langit Ketujuh. Begawan ini jarang sekali memunculkan diri kalau tidak perlu. Kalau Begawan ini memunculkan diri ke bumi berarti ada urusan besar yang harus diatasinya. Begawan ini terkenal kecerdasan dan kepiawaiannya. Dari tingkat keilmuannya, Begawan ini setara dengan ilmu guruku.
Tidak aku sangka dan duga guru Zila adalah orang sakti mandraguna. Pantas saja dia memiliki ilmu batin yang mantap.
“Maaf Zila, bukan aku menolak keinginan dari janjimu. Saat ini aku belum bisa. Aku masih suka berkelana dan berpetualang mengamalkan amanah guruku. Mudah-mudahan kalau berjodoh, Allah akan mempertemukan kita lagi di lain waktu. Assalamualakum Zila. Selamat tinggal Zila dan Roka. Aku akan tetap selalu merindukan kalian.”
Belum habis gaungan suaraku. Aku sudah menghilang dari pandangan mata mereka. Mereka kaget. Cepat sekali aku menghilang dari mereka. Zila hanya sedikit menunjukan rasa kecewa. Sebentar dia bisa tersenyum segar. Dia bisa menerima kenyataan itu.
Musafirun, akan kutunggu engkau sampai kapanpun, ikrarkannya dalam hati.
(Durian Sebatang, 07 April 2004)
~~~oOo~~~
Judul : Pembunuhan Kasat Mata
Musafirun menunggu kereta melintas. Dia ingin menuju suatu tempat. Kereta yang ditunggunya segera melintas dan berhenti di depannya setelah dia mengacungkan tangannya memberikan tanda berhenti. Dia duduk di antara penumpang yang ada. Setengah perjalanan terjadilah keanehan yang tak dibisa dibaca oleh logika sadar. Salah satu penumpang itu menjerit kesakitan. Dia memegang dadanya yang berdarah. Penumpang lain menjadi bergaduh.
”Ada apa? Mengapa lukamu berdarah? Siapa yang melukaimu?”
Belum sempat orang yang luka itu menjawab. Dia meraung sekali lagi. Teriakan kematiannya. Penumpang pun heboh.
”Pak supir, hentikan keretanya.”
Penumpang terus saja bergaduh. Akhirnya pak supir memberhentikan keretanya. Penumpang kereta lari berserabutan mencari selamat. Satu per satu dari mereka jatuh bergulingan seraya memekik. Pekikan kematian. Serangan kematian itu datang tak bisa diterka darimana asalnya. Teriakan minta tolong dari penumpang kereta yang tersisa terus bergema. Aku sudah merasakan getaran itu sedari tadi. Pembunuhan ini dilakukan melalui jalur alam bawah sadar orang. Ini tak bisa dibiarkan. Aku harus cepat bertindak. Sebelum semuanya musnah dibantai pembunuh tak kelihatan ini.
Aku duduk bersila. Menghaturkan bakti pada Allah dengan segenap jiwa raga. Mengeluarkan ilmu batin yang kumiliki. Tak lupa aku memakai ilmu hikmah bagian terdalam. Ilmu keyakinan.
Alhamdulillah. Aku sudah mengetahui siapa pelakunya. Pelakunya adalah seorang wanita tua yang masih kelihatan kerutan kecantikannya. Karena tidak tahu namanya. Aku menyebutnya wanita pembunuh. Dengan keyakinan mantap kusambangi dia yang sering berpindah-pindah tempat dalam melakukan pembunuhan.
”Hentikan kebrutalanmu. Hentikan pembunuhanmu pada mahluk Allah yang tidak berdosa ini.”
Dia kaget, karena aku dapat melihat dirinya secara utuh.
”Mengapa harus kuhentikan. Ini adalah kesenanganku. Siapa kamu yang berani melarang kegemaranku. Mau cari mampus ya?”
”Aku adalah hamba Allah. Hamba Allah yang akan menghentikan kesenanganmu. Kesenangan untuk selalu berbuat keonaran dan dosa.”
”Hehe... Punya nyali juga kamu anak muda. Aku ingin lihat seberapa hebat kamu punya ilmu. ” Habis dia berkata begitu. Wanita pembunuh itu melancarkan serangannya. Serangan kukunya yang tajam mengarah tepat di jantungku.
Wah, dia memang benar menginginkan kematianku. Tidak akan kubiarkan. Aku sedikit menyampingkan badanku menghindari serangannya. Lalu aku melambung tinggi. Wanita pembunuh mencecarku. Dia terus melakukan serangan yang bertubi-tubi. Seakan-akan dia tidak memberikan ruangan untukku membalas serangannya.
Aku harus lepas dari kungkungan serangannya ini. Kalau tidak aku akan mati konyol.
Aku mulai menggunakan jurus silat ketiga belas. Dengan menggunakan jurus ini aku dapat melepaskan diri dari serangannya yang bertubi-tubi. Sesekali aku membalas serangannya. Pertarungan itu berlangsung seru. Kemudian wanita pembunuh itu mengeluarkan ilmu andalannya. Aku terkejut. Ilmu pukulannya sungguh dahsyat. Hawanya saja sudah menyesakkan pernapasanku apalagi pukulannya. Akan cepat membuatku modar.
Aku juga tidak tanggung-tanggung merapal doa ayatul kursi. Tangan kami masing-masing bergetar. Kelihatan warna pukulannya berwarna kuning. Sedangkan pukulanku berwarna putih. Wanita pembunuh itu segera melepaskan pukulannya, aku juga. Pukulan itu bertemu di tengah jalur lurus pukulan yang kami lepaskan. Ledakan tak bisa dihindari dari beradunya dua pukulan hebat itu. Aku tercampak dengan napas ngos-ngosan. Wanita pembunuh juga tercampak. Di sela-sela bibirnya mengeluarkan cairan darah. Rupanya dia terluka dalam. Dia berdiri saja sudah sempoyongan. Aku memperhatikannya. Menunggu pukulan apalagi yang ingin dilancarkannya. Wanita pembunuh hanya memandangku sayu. Setelah itu wanita pembunuh melarikan diri. Aku mengejarnya. Tetapi aku kehilangan jejaknya. Aku bingung mencari dia kemana lagi.
Petaka ini tidak akan berakhir kalau dia masih hidup. Aku harus mencari dia sampai dapat. Aku harus membasminya. Mungkin dia memasuki jalan ini.
Aku pun mengikuti jalan yang kelihatan bagus itu. Jalan itu menuju pasar.
Suasana pasar begitu ramainya. Orang-orang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Aktivitas pembelian dan penjualan terlihat nyata. Aku terus melewati keramaian itu. Santai-santai saja. Sambilan aku memikir. Jalan mana lagi harus kutempuh untuk mencari wanita pembunuh itu.
Saat aku dalam kebingungan itu. Seorang wanita menepukku. Aku kaget mendapatkan tepukan darinya. Aku terperangah. Wanita itu mirip dengan wanita pembunuh. Wanita ini lebih muda dari wanita pembunuh. Jangan-jangan dia mengelabui pandangan mataku. Dia menggunakan ilmu malih rupa. Dapat merubah wujud seperti apa saja yang diinginkannya. Benarkah ilmu langka itu ada? Bisa saja. Aku harus waspada. Aku mengucap astaghfirullah, subhanallah, dan masya allah. Wajah wanita itu masih saja tidak berubah menjadi tua. Dia tetap menjadi wanita muda yang cantik dan menarik. Wah, dia bukan wanita pembunuh. Aku harus tetap waspada.
”Assamualaikum Musafirun, jangan kaget begitu,” katanya santun dan merdu terdengar di telinga. Dia kelihatan lunak dan lembut. Dia begitu ramah. Dia begitu anggun.
Aku terperanjat karena dia tahu namaku. Darimana dia tahu namaku. Apakah dia muridnya wanita pembunuh? Wajahnya sama sih. Jangan-jangan ini sebuah jebakan agar aku menjadi lengah. Bismillah. Aku ucapkan kata itu untuk mengusir kegundahan ini.
”Waalaikumsalam. Maaf kamu siapa?” jawabku.
”Aku adalah seorang utusan dari seseorang yang ingin berdamai denganmu. Dia telah mengaku salah. Sekarang dia telah kembali kepada jalan kebenaran. Dia sebenarnya pernah berseteru denganmu.”
”Seorang utusan. Utusan siapa?”
”Seseorang yang kamu sebut dengan wanita pembunuh.”
”Wanita pembunuh?”
”Hahahaha.....” Aku tertawa lepas. Tertawa senang.
Dicari jauh-jauh, tidak tahu ada orang yang tahu keberadaannya. Mujur sekali aku hari ini.
”Kebetulan sekali. Aku memang mencarinya. Aku ingin mengakhiri kebejatannya dalam membunuh orang yang tidak berdosa. Pasti kamu tahu dimana dia berada. Kamu tunjukkan dimana dia berada.”
”Aku memang tahu dimana dia berada. Tetapi aku tidak akan memberitahukannya kepadamu. Sebelum kamu memberikan keputusanmu. Apakah kamu bisa menerima kata damainya?”
”Tidak. Aku tidak ingin berdamai dengannya.”
”Mengapa tidak bisa?”
”Karena dosanya sudah selangit tembus.”
”Oh, begitu. Walau dia sudah bertobat sekalipun.”
”Ya... ”
”Sebenarnya siapa sih kamu yang terus mengotot minta dia berdamai denganku?”
”Aku adalah muridnya. Perlu kamu ketahui bahwa guruku sudah bertobat di depan gurumu. Mereka sudah baikan. Ini sebenarnya hanya kesalahpahaman di masa muda. Guruku melakukan perbuatan itu untuk memancing gurumu agar dapat keluar. Menuntaskan perseteruan mereka di masa muda. Perseteruan asmara. Kalau mau tahu jelas perseteruan asmara antara gurumu dengan guruku tanyakan saja langsung ke gurumu. Musafirun, gurumu saja dapat berdamai dengan guruku. Mengapa kamu tidak bisa? Gurumu saja dapat memaafkan kesalahan guruku. Mengapa kamu tidak bisa?”
”Aku tidak percaya denganmu. Kamu membual. Masak guruku dapat menerima orang yang telah berdosa besar. Tidak. Aku akan tetap mencarinya dan akan membunuhnya. Dia harus mati.”
”Ingat, Musafirun. Kematian seseorang ada di tangan Allah. Bukan ditangan kamu yang hanya hamba-Nya. Allah, dan gurumu yang alim saja bisa memaafkan kesalahan guruku. Masak kamu sebagai muridnya saja tidak bisa. Ingat Musafirun, kendalikan napsumu yang saat ini sudah dilingkupi perbuatan setan.
Kalau memang kamu kurang puas dengan perlakuan guruku. Aku bisa mewakilinya. Hukumlah diriku sepuas hatimu seperti apa yang akan kamu timpakan pada guruku. Aku akan ikhlas menerimanya. Kalau itu memang dapat memuaskan hatimu. ” Dia masih lemah lembut berbicara. Senyuman manisnya tak pernah pupus dari bibir ranumnya. Dia mulai pasrah kepada nasibnya. Dia rela dibunuh untuk menggantikan posisi gurunya.
Aku tersadar. Keimananku mencuat bangga. Subhanallah. Aku sudah terkhilaf. Sempat-sempatnya setan memperdayaiku. Aku mulai merasa bersalah di depannya. Aku mulai salut dengan keberaniannya. Berani berkorban untuk gurunya. Inikah bukti pengabdian seorang murid kepada seorang gurunya.
”Maafkan kekhilafanku tadi, Nona. Terima kasih atas kesadaran yang kamu berikan padaku.”
”Syukurlah, kamu dapat mengerti. Alhamdulillah, yaa Allah atas anugerah-Mu ini. Musafirun, guru kitakan sudah rujukan. Dapatkan kita saling bersahabat dan mengikat tali ikatan yang mendalam di antara kita?”
Kalau bersahabat sih aku akan menerimanya dengan senang hati. Ikatan mendalam. Ikatan mendalam seperti apa ya?
”Oke, kalau bersahabat sih dengan senang hati aku menerimanya. Oh ya, namamu siapa sih?”
”Ya...Ya... Aku lupa mengenalkan namaku padamu. Namaku Rembulan Putih. ”
”Nama yang bagus sekali. Seputih perilaku orangnya.”
”Ah, kamu jangan menyanjungku seperti itu. Aku jadi tersanjung. Bisa gawat kalau aku jadi tersanjung. Bisa-bisa saja aku langsung memeluk dan menciummu.”
”Yang benar?”
Tidak aku sangka dia sudah memelukku. Sepasang bibir ranumnya telah melabuhkan ciumannya ke pipiku. Aku memerah. Keringatanku berjatuhan. Baru sekali ini aku dipeluk dan dicium oleh seorang gadis. Wah, gawat urusannya kalau begini. Tujuh kali dia tersanjung, tujuh kali juga dia akan memeluk dan menciumku. Bisa bonyok aku.
”Maaf aku ketelepasan,” katanya malu-malu. Tapi matanya masih memancarkan binar-binar kebeningan itu.
”Maaf ya Bulan. Aku pergi dulu,” kataku tak menunggu jawabannya.
”Tunggu dulu, Musafirun. Aku ikut kamu. Gimana tawaran tentang jalinan ikatan mendalam di antara kita,” serunya mengejarku.
”Entahlah. Aku tidak tahu,” sahutku dari kejauhan.
~~~oooOooo~~~
Judul: Geronong Sakti
Musafirun lagi berjalan dengan tiga sahabatnya. Kumar, Amar, dan Sibar.
”Safir, masih jauhkan daerahnya,” tanya Kumar.
”Sebentar lagi. Setelah melewati tanjakan ini kita akan sampai ke telaga bening itu,” jawab Musafirun.
Mereka terus saja berjalan. Setelah melewati tanjakan itu. Benar. Terlihatlah sebuah telaga bening itu. Sahabat Musafirun berteriak girang sekali. Mereka berlomba-lomba ke sana. Berlari secepat mungkin. Musafirun hanya tersenyum. Dia berkelebat sebentar. Dia telah berada di telaga bening itu. Sebelum tiga sahabatnya sampai.
”Kamu sih curang Safir. Masak kamu menggunakan lari cepat agar cepat sampai,” tegur Amar yang barusan tiba. Kemudian disusul Kumar, dan Sibar. Mereka kelihatan lelah berlari cepat tadi.
”Itu sih tidak curang. Penghematan energi namanya,” kelakarku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar