Aku tidak tahu siapa yang melahirkanku? Karena saat muncul di bumi ini, aku sudah sendirian. Terlihatku hanyalah hutan rimba dan binatang penghuninya. Aku masih bersyukur bahwa aku hadir di bumi, tidak di tempat lain.
Beruntung seorang pengelana menemukanku dalam perjalanannya. Kalau tidak, entahlah aku akan jadi penghuni rimba kali?
Pengelana itu berpunya nama Wahyu Sejati. Aku diberinya nama Musafirun.
Alhamdulilah. Aku dirawatnya dengan baik. Darinya aku banyak diajarkan ilmu kebatinan dan ketahanan mental serta sedikit ilmu silat sampai jurus kelima belas.
Ketika menuntaskan dua jurus terakhir, yaitu jurus keenam belas dan ketujuh belas keburu dia harus pergi ke suatu tempat yang tidak boleh kuketahui. Tempat penyucian diri. Beliau berpesan padaku agar mencari dua jurus tersebut, yaitu jurus keenam belas dan jurus ketujuh belas. Aku disuruhnya berkelana untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya untuk bekal di hari penghabisan nanti.
Sedih juga rasanya berpisah dengannya. Dengan orang yang kita sayangi. Seketika aku tersadar bahwa aku tidak boleh membiarkan kesedihan ini terus berlarut-larut. Untuk itu, aku harus mampu merenungi setiap apa yang telah terlewatkan. Semua itu adalah kehendak Allah. Membuat jiwaku semakin lapang dada.
Sejak saat itulah aku memutuskan melakukan pengembaraan di bumi ini demi menunaikan amanah guru dan menuntaskan keinginanku yang selalu haus dengan ilmu yang bermanfaat.
~oOo~
Musafirun bersama teman-temannya berjumlah tiga orang sedang melakukan perjalanan ke suatu Kampung Geretak Panjang Luar yang banyak menyimpan barang-barang keramat yang sering dihebohkan oleh orang banyak. Mereka berniat ke sana hanya ingin mendapatkan barang keramat dari kampung itu. Salah satu teman wanita dalam rombongan Musafirun adalah Vitri. Tidak disangka bahwa Vitri memiliki kaitan dengan Kampung Gereta Panjang Luar. Mungkin saja orang tuanya berasal dari sana, walau dia bukan dilahirkan dari sana.
Rombongan itu menuju ke sebuah makam besar di Kampung Geretak Panjang Luar. Mereka mulai melakukan pencarian pada barang keramat itu. Tetapi barang itu tidak mereka temukan. Akhirnya mereka keluar dari makam itu. Mereka terus menuju ke arah barat dengan pemimpinnya adalah Musafirun. Mereka berpapasan dengan penduduk di sebuah jalan perkampuangan itu. Musafirun bertanya dengan penduduk tersebut.
“Dimana tempat keramatnya lagi, Pak?”
“Di sini tidak ada tempat keramat kecuali kuburan besar itu,” sahut salah seorang penduduk.
Kuburan besar itu telah kami obrak-abrik tadi. Tapi kami tidak menemukan apa yang kami cari, yaitu barang keramat yang berbentuk sebilah pedang sakti. Pedang tujuh petala bumi.
“Kalau kuburan itu bagaimana, Pak?” tunjuk Musafirun pada sebuah kuburan. Selain kuburan besar itu. Karena Musafirun mengganggap ganjil sebuah kuburan itu. Kuburan tidak menyatu dengan kuburan besar. Itu menurut pantauan ilmu batinnya.
“Kuburan itu biasa saja. Tidak ada yang anehnya, Nak,” jawab orang itu lagi.
“Kalau boleh tahu itu kuburan siapa?”
“Itu adalah kuburan orang yang ditinggalkan istrinya. Dia mati merana, Nak,” tegas orang itu.
“Mati merana?” gumamku.
Sesaat orang itu terpandang ke wajah Vitri. Dia pun mendesah.
Wajahnya sama dengan bapaknya. Dialah anak bapak itu yang dibawa lari oleh istrinya, karena ingin bersuami baru lagi. Betul. Pandangan mataku tidak salah. Dialah anak bapak itu. Walau saat itu aku memandangnya dia masih kecil. Betul. Tidak salah lagi.
“Kuburan itu adalah kuburan ayahnya,” tunjuk orang itu pada Vitri. Vitri melengak kaget karena orang itu menunjuknya. Musafirun juga kaget. Karena Vitri mempunyai ayah yang mati merana.
“Permisi, Nak,” sela orang itu berlalu pergi. Dia pergi menghindari hal tersebut. Karena orang itu tidak ingin membeberkan rahasia hidup anak itu. Nanti akan menimbulkan kekecewaan pada anak itu. Setelah dia tahu bahwa ibunya telah menelantarkan bapakya. Hingga bapaknya mati merana. Hal itu terjadi karena keegoisan ibunya yang ingin punya suami baru lagi. Suami yang lebih terhormat dan kaya dari bapaknya.
“Tunggu dulu, Pak!” kejar Vitri.
Sedikit banyak dia ingin mengetahui mengapa orang itu mengatakan bahwa kuburan itu adalah kuburan ayahnya, sedangkan menurut ibunya bahwa ayahnya meninggal saat naik haji di Mekkah. Dia ingin menanyakan mengapa orang itu yakin sekali menunjukkan kuburan itu adalah kuburan ayahnya. Vitri ingin mengetahui. Yang benar ibunya atau orang tua itu?
Di persimpangan yang gelap. Orang tua itu menghilang entah kemana. Walau Vitri memanggilnya berulang-ulang kali. Vitri hanya bisa melepaskan napasnya yang kesal.
“Sudahlah Vit, orang tuanya sudah tidak ada lagi. Lebih baik kita lihat kuburan itu. Mungkin saja apa yang dikatakan orang itu benar adanya,” kata Musafirun lemah lembut. Vitri mengiyakan saja.
”Oh ya, Vit nama bapakmu siapa?”
”Mana aku tahu, Safir. Kamu ini bercanda ya? Aku mengejar orang itu ingin menanyakan benarkah apa yang dikatakannya. Kalau benar apa yang dikatakannya. Aku ingin tahu mengapa bapakku mati merana? Sekaligus mau tahu juga nama bapakku siapa?”
”Betul juga katamu, Vit. Gini saja Vit. Kita lihat kuburan itu. Mudah-mudahan saja kuburan itu ada hazrat namanya yang terkubur di situ. Kalau ada namanya akan memudahkan kamu mengecek kebenarannya. Kamu tanyakan saja namamu itu pada ibumu. Apakah beliau pernah mengenal nama itu di Kampung Geretak Panjang Luar? Bereskan!”
”Topger juga cara pikirmu, Safir. Mari kita ke sana sekalian kita ingin mengetahui apakah di dalam kuburan itu terpendam pedang sakti tujuh petala bumi yang kita cari.”
”Mari. Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaukan.”
Kami pun menuju kuburan itu. Di kuburan itu kami tidak menemukan petunjuk apapun. Sebab kuburan itu tidak berhazrat dan terkesan sudah tua. Terlihatlah nisannya sudah lapuk dimakan usia zaman. Kami kecewa. Lebih kecewa lagi Vitri yang tidak dapat mengungkap misteri perkataan orang Kampung Geretak Panjang Luar yang mengatakan dia adalah anak bapak itu.
Dalam tilikan mata batin Musafirun pun barang keramat yang mereka cari tidak ada di situ. Musafirun mengajak teman-temannya meninggalkan tempat itu. Kami kembali melintasi jalan yang kami lalui pertama kali yaitu sebuah geretak panjang yang menghubungkan Kampung Geretak Panjang Luar dengan Kampung Geretak Panjang Dalam.
Ketika berjalan di geretak panjang itu. Melintaslah seekor ikan paus yang berlari dari lautan menuju daratan. Kesigapan mata batin Musafirun bekerja. Mata batin Musafirun menangkap sebuah sinyal atau kontak rasa. Yang menunjukkan bahwa barang keramat yang dicarinya bersama temannya berada dalam tubuh ikan paus itu. Muafirun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia segera mengejar ikan paus itu yang terus berlari cepat ke daratan.
“Teman-teman, barang keramat itu berada di ikan paus itu. Mari kita menangkapnya,” seru Musafirun berlari seraya menunjuk ikan paus itu. Ikan paus itu terus berlari menjauhiku. Aku terus mengejarnya. Namun di deretan rumah yang rapat-rapat aku dicegah oleh seseorang.
“Jangan bunuh ikan paus itu!” teriaknya melarangku. Aku berhenti seketika. Namun aku tidak mempedulikannya. Dia makin tambah marah.
“Cukup kataku. Hentikan!” bentaknya lebih membahana lagi.
“Pak, tak perlu membentak. Aku bukan anak kecil. Aku orang dewasa yang sudah tahu peradatan. Aku tahu bapak punya ilmu. Hingga berani melarangku. Aku mohon pada Bapak, jangan halangi pengejaranku ini. Karena pengejaran ini adalah kesempatan emasku untuk mendapatkan barang keramat di ikan paus itu. Kalau Bapak berani menghalanginya, maaf beribu maaf aku terpaksa melawan Bapak,” kataku.
“Anak sombong. Aku ingin menjajal seberapa ilmu yang kamu punya,” katanya. Ia mengeluarkan pukulan yang membawa angin berkesiuran ke arahku.
“Maaf Pak, aku tidak berniat sombong. Bapak terlalu meminta, baiklah aku membalas,” kataku.
Aku membalas pukulannya. Sehingga angin pukulanku beradu dengan angin pukulannya. Karena kuatnya dorongan dari angin tenagaku. Dia terpental. Sebentar dia segera berdiri. Menatapku sinis.
“Pak, waktuku abis. Kalau Bapak masih penasaran denganku. Keluarkan saja Ajian Tapak Darah Bapak yang terhebat itu. Insya allah aku siap melayaninya,” pertegasku.
Aku mulai mengeluarkan ilmu suhu kekuatan tangan. Aku melemparkan tiga helai daun sirih ke arahnya. Daun sirih menancap di depan kakinya. Dia terkejut sayu. Karena daun sirih itu menghalangi pengejarannya padaku. Di samping itu dia juga kaget karena aku mengetahui ajian terhebatnya. Selama inikan belum banyak orang dunia persilatan yang mengetahui ajian terhebatnya itu. Mendengar ajian Tapak Darah terhebatnya itu saja orang dunia persilatan sudah keder. Lari tunggang-langgang. Hari ini dia malah ditantang untuk mengeluarkan Ajian Tapak Darahnya itu. Berarti orang yang menantangnya sudah memiliki ilmu yang dapat mengalahkan ilmunya. Dia mulai berpikir normal. Pemuda yang dihadapinya ini adalah bukan pemuda sembarangan. Pemuda yang dihadapi ini memiliki ilmu yang lebih tinggi darinya. Lebih baik dia tak mencari masalah dengan pemuda itu.
Hati lainnya berkata lirih. Aku masih penasaran siapa pemuda ini sebenarnya? Masih muda ilmunya sudah tinggi dariku? Pemuda ini sebenarnya murid siapa? Akan aku cari tahu nanti siapa pemuda ini sebenarnya. Sementara ini biarlah aku mengalah dulu. Aku menghindarkan diri dulu. Suatu saat akan kucari dia lagi.
Aku tidak mempedulikan kekakuan, keterkejutan, dan kediaman Bapak itu. Aku terus mengejar ikan paus itu dan menyuruhnya berhenti sembari aku mengirimkan pukulan hawa tangan. Si ikan paus tidak berhenti. Si ikan paus tidak mempan oleh pukulan yang barusan kulepaskan. Malahan si ikan paus terus maju menuju tempatnya. Sebelum lima meter lagi mencapai daratan, si ikan paus menghilang. Aku jadi kelabakan. Aku kecewa. Aku tidak putus asa.
Aku duduk bersila, tepat di arah si ikan paus menghilang. Kuhaturkan doa meminta pertolongan Allah. Semoga ikan paus itu dapat muncul lagi. Sampai lima jam aku mengheningkan cipta si ikan paus tidak memunculkan dirinya.
“Musafirun, kita lanjutkan saja perjalanan ini,” tepuk Vitri pada bahu kiriku saat aku masih duduk bersila. Aku membuka mataku. Aku menyudahi penantian menunggu ikan paus itu. Aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan lagi. Akhirnya kami melanjutkan perjalanan.
Di geretak panjang menuju jalan ujung Kampung Geretak Panjang Luar yang menghubungkan jalan besar menuju Kampung Geretak Panjang Dalam. Kami menyaksikan banyak orang berobat ke rumah dukun. Aku tertarik untuk melihat cara dukun mengobati pasiennya. Kami mengikuti para penduduk yang berobat.
Alhamdulillah. Dukun yang mengobati penduduk Kampung Geretak Panjang Luar menggunakan cara islami. Berarti dukun itu sudah benar menjalankan syariatnya. Aku berlega hati.
Sebelum si dukun tahu kedatanganku dan teman-teman. Kami pun meninggalkan rumahnya dan terus melakukan perjalanan ke tempat yang lain.
(Durian Sebatang, 5 April 2004)
~~~oooOooo~~~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar