Sabtu, 27 September 2008

Bertarung Tak Tidur



Binatang Kancil dikenal binatang yang cerdik dan pintar. Dengan kecerdikan dan kepintarannya itu, Kancil tak segan-segan melecehkan binatang yang dapat diakalinya. Sehingga Kancil merasa dialah binatang yang paling cerdik dan pintar di dunia. Binatang yang lain adalah binatang yang bodoh. Karena kelebihan yang dimilikinya, Kancil pun menjadi sombong dan angkuh. Selain itu, Kancil tak pernah mengakui kekalahanannya walau dia dikalahkan oleh binatang yang lain, seperti dalam cerita ini.
Suatu ketika Si Kancil sedang berjalan melewati padang yang banyak rumput hijau menyegar. Di rumput hijau itu sedang bertengger seekor Belalang yang terkantuk-kantuk. Si Kancil menghentikan langkahnya. Dia mendekati Si Belalang. Dia ingin melecehkan Si Belalang.
”Hai Esan Belalang?” sapanya.
”Hai. Kamu Esan Kancil. Ada apa gerangan mengganggu saya di pagi hari ini?” sahut Belalang masih menahan rasa kantuknya. Badannya terlihat bergoyang-goyang. Kepalanya terangguk-angguk. Menahan rasa kantuk yang semakin memberat saja. Angin yang berhembus sepoi-sepoi semakin membuat matanya ingin terhanyut dalam buaian mimpinya.
”Hari sudah siang begini masih juga Esan mengantuk. Memang Esan ini adalah binatang pemalas.”
”Apa kamu bilang Esan Kancil?”
Belalang sedikit emosi dikatakan binatang pemalas. Matanya yang mengantuk mulai terbuka nyalang. Menatap besar pada Si Kancil yang telah menghinanya.
”Kamu binatang pemalas, Esan Belalang. Pagi-pagi begini seharusnya kamu sudah segar bugar, tapi kamu masih ngantuk. Apa itu tidak malas namanya. Pagi-pagi begini binatang lain sudah mengais rezeki, kamu masih terngantuk-ngantuk. Apa itu tidak dinamakan pemalas. Coba lihat saya sudah segar bugar. Saya sudah siap mencari rezeki. Kita harus berlomba-lomba mendapatkan rezeki sebelum binatang lain mendahului kita. Esan Belalang, kalau begitu terus kerjamu. Kamu mau makan apa. Mau menjadi binatang yang selalu miskin. Biasanya kalau binatang itu sudah miskin maka kecenderungan binatang itu menjadi bodoh. Oleh karena itu, kita tak boleh malas. Kita harus rajin. Kita tak boleh menjadi binatang yang miskin. Kalau begini kerjamu, tak heran kalau kamu menjadi binatang yang bodoh.”
”Jaga mulutmu Esan Kancil. Jangan selalu menghina binatang lain. Memangnya kamu binatang pintar ya?”
”Yalah, saya binatang yang pintar. Semua binatang dunia mengakuinya, karena tak ada satu binatang di dunia ini yang dapat mengalahkan kepintaran saya. Kamu dapat lihat saja contohnya. Esan Buaya penguasa sungai saja dapat saya kalahkan. Esan Beruk yang berotot kekar juga dapat saya kalahkan. Binatang pintarkan saya?”
”Jangan sombong Esan Kancil. Karena kesombongan itu biasanya akan menghancurkan kepintaran.”
”Tak mungkin. Karena selama ini saya bertarung dengan binatang apapun dengan menggunakan kepintaran, saya selalu menang. Binatang lain selalu kalah dari saya. Karena mereka binatang bodoh yang dapat saya akali. Memangnya kamu ingin bertarung juga dengan saya agar kamu tahu kepintaran saya.”
”Boleh. Kita akan bertarung. Karena, saya ingin melihat sejauhmana kepintaranmu. Apakah hanya ada dalam ucapanmu saja atau perbuatanmu?”
”Mari kita buktikan. Pertarungan apa yang mau kamu tawarkan pada saya?”
”Pertarungannya adalah tidak tidur dari pagi sampai bertemu pagi. Bila di antara kita tidak tidur sampai menjelang pagi maka dialah pemenangnya. Kalau kamu yang menang maka saya akan yakin bahwa kamu adalah binatang yang cerdik dan pintar di dunia ini, tapi jika kamu yang kalah maka saya menganggap kamu adalah binatang yang besar mulut dan bodoh dari saya. Bagaimana Esan Kancil, siap menerima tantangan ini?”
”Tentulah, Esan Belalang. Saya bersedia. Tantangan yang kamu tawarkan pada saya adalah sebuah tantangan yang kecil bagi saya. Saya tak akan menolak tantangan dari binatang bodoh sepertimu Esan Belalang. Saya pasti akan mengalahkanmu. Saya akan menang darimu. Kamu akan menyatakan bahwa saya adalah binatang yang pintar.”
”Jangan yakin dulu, Esan Kancil. Kamu dapat memenangkan pertarungan itu. Bisa jadi kamu malahan yang kalah. Kita buktikan saja, nanti.”
”Jangan banyak omong lagi Esan Belalang. Saya sudah tidak sabar untuk melakukannya. Saya sudah tak sabar ingin melihat kekalahanmu. Kapan kita melakukan pertarungan itu?”
”Kita mulai besok pagi, di tempat itu,” tunjuk Esan Belalang pada daerah tepian sungai. Di sana ada sebuah pohon kecil menjuntai. Di pohon kecil menjuntai itu juga pernah dijadikan Esan Belalang sebagai tempat peristirahatannya. Selain, di rumput hijau yang saat ini dijadikannya tempat bertengger.
”Baik,” kata Esan Kancil menyetujuinya.
Setelah itu Esan Kancil pamit kepada Esan Belalang untuk melakukan aktivitasnya hari ini.
”Saya pergi dulu Esan Belalang sampai jumpa besok,” kata Esan Kancil menghilang dari Esan Belalang.
”Sampai jumpa besok juga Esan Kancil,” sahut Esan Belalang melanjutkan aktivitas tidurnya.
Pagi-pagi sekali Esan Kancil sudah datang di tempat yang telah ditentukan untuk melakukan pertarungan itu. Esan Kancil kelihatan segar dan berseri-seri. Karena dia sudah mempersiapkan staminya untuk tidak tidur dari pagi ini sampai bertemu pagi lagi. Dia benar-benar ingin mengalahkan Esan Belalang. Dia ingin membuktikan pada Esan Belalang bahwa apa yang diucapkannya adalah sebuah kebenaran. Selain itu, dia juga menginginkan agar Esan Belalang dapat mengakui kepintarannya. Selamanya dia menjadi binatang yang pintar.
Esan Belalang juga sudah menunggunya dengan tenang. Esan Belalang terlihat sedikit segar. Dia tak terkantuk-kantuk lagi. Matanya tak sayu. Esan Belalang berusaha juga menjaga staminanya agar tetap sehat untuk mengalahkan Esan Kancil dalam pertarungan ini. Dia yakin akan memenangkan pertarungan ini. Esan Kancil harus diberi pelajaran biar dia tahu rasa bahwa tak selamanya dia dapat meremehkan binatang yang lain.
Saat Esan Kancil tiba di tempat yang telah ditentukan untuk pertarungan tersebut. Esan Belalang dengan ramah menyapanya.
”Apa kabar Esan Kancil?”
”Baik saja, Esan Belalang. Kamu sudah menyiapkan staminamu,” jawab Esan Belalang.
”Sudahlah, Esan Kancil. Bagaimana dengan kamu, Esan Kancil? Esan Kancil juga sudah menyiapkan staminanya?”
”Sudahlah. Bahkah lebih prima dari biasanya. Inikan pertarungan yang paling berharga bagi saya. Pertarungan yang mempertaruhkan harga diri saya. Kalau saya kalah, jatuhlah harga diri saya. Saya tidak ingin harga diri saya jatuh di mata Esan Belalang dan bisa juga di mata binatang lain. Kalau saya kalah, apa kata dunia. Esan Kancil yang terkenal dengan kecerdikan dan kepintarannya, bisa dikalahkan oleh Esan Belalang. Mau taruh di mana muka dan harga diri saya. Untuk itu, saya harus memenangkan pertarungan ini. Dengan memenangkan pertarungan ini maka harga diri saya tidak jatuh. Kecerdikan dan kepintaran saya sebagai binatang cerdik akal akan selalu harum sepanjang masa. Binatang cerdik akal yang tak pernah terkalahkan. Esan Belalang, kapan kita mulai pertarungan ini?”
”Oya... ya..., Esan Kancil. Kita mulai pertarungan ini ketika sinar matahari pagi menyentuh kulit kita. Pertarungan ini berakhirnya juga sampai sinar matahari pagi hari menyentuh kulit kita, besok pagi. Setuju?” kata Esan Belalang.
”Setuju,” jawab Esan Kancil dengan mantap.
”Selain itu peraturan pertarungan ini adalah seseorang dari kita dinyatakan pemenangnya bila di antara kita ada yang tidak tidur sekejap pun selama waktu itu. Bila ada di antara kita tidur sekejap pun, maka dia dinyatakan kalah,” Esan Belalang menambahkan.
”Betul. Itulah peraturan pertarungan yang tepat sekali. Siap-siap saja kamu menerima kekalahan ini Esan Belalang,” sahut Esan Kancil.
”Kita buktikan saja nanti. Siapa yang kalah dan yang menang, Esan Kancil? Kamu atau saya?” kata Esan Belalang.
Esan Kancil dan Esan Belalang mulai berdiam diri. Mereka mempersiapkan dirinya masing-masing agar dapat memenangkan pertarungan ini.
Matahari pagi perlahan demi perlahan mulai menghamparkan sinarnya. Sinarnya menyentuh tubuh mahluk hidup yang ada di bumi. Tak terkecuali kulit-kulit Esan Kancil dan Esan Belalang. Dengan hadirnya sinar matahari yang menyentuh kulit mereka menandakan bahwa pertarungan antara mereka segera dimulai.
Mereka segera dalam posisi terjaga.
Sinar matahari terus memancar dan semakin naik pada titik kulminasinya. Waktu terus berputar pada rotasinya. Sehingga sinar matahari semakin lembut dan meredup. Menandakan bahwa waktu siang telah berlalu berganti senja. Senja pun juga berganti malam. Malam hadir pada mereka. Mereka tetap masih terjaga. Mata mereka tetap menyalang. Mereka belum merasa ngantuk.
Malam terus menaik sehingga waktu malam sudah mencapai tengah malam. Alam menjadi sunyi. Hanya desiran angin yang berhembus pelan-pelan dan menyenandungkan suara lirih merdunya. Ombak laut tak bergelombang. Tenang dalam kesyahduan.
Mereka masih terjaga. Mata mereka masih menyalang.
Tengah malam pun berlalu.
Esan Belalang mulai mengantuk. Dia segera tidur. Esan Kancil tak mengetahuinya. Karena tidur atau terjaga mata Esan Belalang tetap menyalang seperti orang terjaga.. Esan Belalang tidur dengan nyenyaknya.
Angin bertiup semakin lembut dan sejuk. Udara laut mendingin. Menyapu sekujur tubuh dua binatang yang sedang melakukan pertarungan tak tidur itu. Esan Kancil mulai diserang rasa ngantuk. Dia mengerjip-ngerjipkan matanya agar tak tidur. Dia melihat ke arah Esan Belalang. Dilihatnya mata Esan Belalang masih menyalang. Berarti Esan Belalang belum tidur.
”Wah, tahan juga dia tak tidur. Padahal saya sudah diserang rasa ngantuk yang begitu berat. Apakah dia tak diserang rasa ngantuk yang berat? Entahlah. Tapi dilihat dengan matanya yang terus menyalang berarti dia tak diserang rasa ngantuk yang berat. Saya tak boleh kalah darinya. Saya harus menang. Saya harus tahan. Saya tak boleh tidur sekejap pun.”
Esan Kancil terus melawan rasa kantuknya yang semakin menghebat. Dia terus menyalangkan matanya.
Semakin kuat dia melawan rasa kantuknya semakin kuat rasa kantuk menyerangnya. Apalagi udara dingin membuat dia menggigil. Suasana seperti itu semakin kuat menambah daya ngantuk pada matanya. Dia terus berusaha sekuat tenaga agar tetap terjaga.
Sekali lagi dia melihat Esan Belalang. Mata Esan Belalang dilihatnya masih menyalang. Berarti Esan Belalang masih terjaga. Dia mulai menguatkan matanya agar tak tertidur. Tapi Esan Kancil tak mampu melawan rasa kantuknya. Akhirnya dia tertidur sekejap. Dalam tidurnya sekejap itu, dia tak menyadari bahwa kakinya menginjak tepian sungai. Esan Kancil tercebur ke tepian sungai.
Byuuuurrrrr...........
Bunyi tubuh Esan Kancil yang menyentuh air sungai begitu keras, membangunkan Esan Belalang dari tidur nyenyaknya. Esan Belalang terjaga. Esan Kancil sudah basah kuyup. Esan Belalang berkata.
”Ada apa Esan Kancil? Pasti Esan Kancil tertidur sekejap tadikan? Sehingga Esan Kancil bisa tercebur ke sungai. Sesuai perjanjian pertarungan yang kita sepakati berarti Esan Kancil kalah dalam pertarungan tak tidur ini.”
”Tidak. Aku tidak apa-apa. Aku terjaga terus. Aku tercebur ke sungai karena ingin mengambil air wudu untuk sembahyang,” kilah Esan Kancil.
Dia mendekati Esan Belalang dengan tubuh basah kuyup. Dia ingin melanjutkan pertarungan itu.
”Bohong. Esan Kancil pasti tidur sekejap, tadi.”
”Benar. Saya tidak tidur walau sekejap. Benar saya ingin mengambil air wudu untuk sembayang. Inikan sudah waktu subuh.”
Esan Kancil berusaha meyakinkan Esan Belalang. Tapi, Esan Belalang tak percaya padanya.
”Esan Kancil hanya berkilah saya. Saya tak percaya. Tidak mungkin Esan Kancil bisa tercebur ke sungai dengan bunyi yang nyaring, kalau Esan Kancil tak tidur walau sekejap. Tidak mungkin orang mengambil wudu untuk sembayang dengan bunyi tercebur ke sungai begitu nyaring bunyinya. Basah kuyup lagi. Esan Kancil, akui saja kekalahan Esan Kancil bertarung melawan saya. Jangan mencari dalih untuk menutupi kekalahan itu. Saya sudah tahu itu. Ternyata Kancil yang dikenal cerdik dan pintar hanyalah binatang pecundang di mata saya,” kata Esan Belalang gembira. Dia gembira karena telah mengalahkan Esan Kancil yang besar mulut dan sombong.
Esan Kancil terdiam. Dia tak dapat berkilah membalas penghinaan Esan Belalang. Karena apa yang dikatakan Esan Belalang benar adanya. Dia memang sempat tertidur sekejap, tadi. Berarti sesuai peraturan pertarungan yang disepakatinya maka dia dinyatakan kalah.
Tanpa sepatah kata terucap dari bibirnya, Esan Kancil pergi meninggalkan Esan Belalang membawa kepedihan hatinya karena dia dapat dikalahkan oleh Esan Belalang dalam pertarungan tak tidur.
~&&&~
Keterangan :
Esan : Tuan


Tidak ada komentar: